ini fanfic pertamaku yang ada endingnya, sebelumnya udah pernah aku
posting di notes fb sih, tapi gapapa lah, itung2 publish ulang buat
ngisi postingan blog, hohoho *smirk evil*
.
.
Holllaaaaaa..minna..
Perkenalkan
saya momo *bungkuk2*, saya author baru-tipikal
musiman-jadijadian-pengen belajar nulis dengan karya saya yang masih
amat sangat abal..
#abaikan
Sebenernya saya udah lama pengen
gabung di sini, tapi berhubung saya itu jenis orang yang kalo nulis ga
pernah tau endingnya kayak gimana jadi baru kali ini saya beraniin buat
publish ni tulisan *kluk*
Dan..sebelum saya terlalu banyak ngeles
mending langsung tancap ke tkp saja lah, monggo..
Gone
Pairing: ByaRuki, IchiRuki,
Byahisa
Disclaimer: Bleach jelas punya Tite Kubo, Someone Like You
masih punya Adele, en My Sky tentu bukan punya saya
Warning:
typo(s), gaje, abal, cerita pasaran, de el el
.
.
I heard that you're settled
down
That you found a girl and you're
married now.
I heard that your dreams came
true.
Guess she gave you things I didn't
give to you.
Rukia POV
Sakit. Rasa itu
masih terus menyiksaku hingga saat ini. Walaupun dua bulan telah
berlalu semenjak aku mendapat undangan yang menghancurkan semua
pertahananku, aku masih belum sanggup menerima semua kenyataan itu.
Kenyataan pahit, sangat pahit malah.
Hari itu aku baru saja pulang
dari sekolah setelah seharian berkutat dengan berbagai diktat tebal nan
rumit yang bahkan bisa membuat seorang kutu buku menjadi tidak berminat
lagi membaca buku. Aku bergegas menuju ke apartemenku untuk segera
mengistirahatkan semua penat di otak dan tubuhku. Aku hanya ingin
segera mandi dan menikmati secangkir coklat hangat. Ya, secangkir coklat
hangat di sore hari tidaklah buruk mengingat angin musim gugur yang
masih setia berhembus dan menggelitiki kulit tiap insan manusia. Sesaat
sebelum membuka pintu apartemen, mataku tertuju pada kotak pos yang
menempel di dinding luar apartemenku.
‘Undangan? Siapa yang
mengirimiku undangan?’ pikirku dalam hati. Masalahnya aku baru saja
pindah apartemen dan hanya sedikit orang yang tahu alamat apartemen
baruku. Aku pun memutuskan untuk masuk ke dalam dan duduk di sofa untuk
membuka undangan itu.
Jantungku seperti hendak meloncat keluar
ketika aku tahu undangan apa itu. Terlebih nama yang terpampang di
undangan tersebut. Untuk sejenak aku berpikir, apa aku bermimpi? Kucubit
pergelangan tanganku berulang-ulang. Sakit. Oh, kami-sama.. apakah ini
benar-benar nyata? Hatiku serasa tercabik-cabik. Nafasku tercekat.
Seluruh anggota tubuhku tak mau merespon dengan baik saat ini. hingga
akhirnya aku merasakan ada aliran air di kedua pipiku. Aku menangis.
Malam
demi malam selama dua bulan terakhir ini kulalui dengan tangis. Dan
penyebabnya hanya satu. Undangan. Undangan pernikahan dari sahabat,
tidak, mantan sahabat sekaligus saudara perempuanku lebih tepatnya,
dengan seseorang yang dulu-bahkan sampai sekarang- mengisi relung
hatiku. Ternyata keputusanku untuk meninggalkannya disana mengakibatkan
munculnya kenyataan pahit ini. Satu setengah tahun yang lalu aku
mendapat kesempatan untuk belajar di tempat impianku. Sebuah sekolah
elit di negeri yang jauh dari tempat asalku. Saat itu semua orang tampak
mendukungku, bahkan dia, kekasihku yang sangat sempurna baik fisik
maupun sikapnya pun sangat antusias akan munculnya jalan terang menuju
cita-cita yang telah lama aku impikan.
‘Pergilah. Aku tau kau
sangat mendambakan kesempatan emas itu. Kejarlah mimpimu, cherie’,
katanya saat itu.
Dan pada detik-detik terakhir sebelum aku lepas
landas, dia membisikkan seuntai kalimat yang membuatku terus berusaha
untuk menjaga hatiku untuknya selama ini,
‘You know that you’ll
always have my heart, ma cherie..’
Kupikir dengan dia mengatakan
hal indah seperti itu dia akan menunggu kedatanganku, tapi nyatanya
semua itu hanya omong kosong. Memang benar setelah beberapa bulan kami
menjalani hubungan jarak jauh via email dan berbagai jejaring sosial
kami memutuskan untuk break sementara. Aku pikir itu hal yang wajar
mengingat intensitas komunikasi kami yang walaupun lancar tapi tetap
saja terganggu lantaran zona waktu yang memisahkan. Dan aku berharap
ketika aku telah menyelesaikan studiku kami dapat merajut kembali
jalinan hati diantara kami yang sempat koyak. Sayang, itu semua tinggal
mimpi. Sebentar lagi dia akan bersanding dengan orang lain, dengan
kakakku tersayang dan menjadi bagian dari keluargaku.
##
Sekarang,
disinilah aku. Berdiri ditengah antrean panjang untuk masuk ke pesawat
yang akan membawaku pulang ke negaraku. Ke tempat yang seharusnya akan
memberikan satu kisah bahagia untukku setelah cukup lama berkelana di
negeri orang. Namun sayang sepertinya kisahku belum akan berakhir dengan
bahagia. Setidaknya tidak sekarang, karena aku justru tengah bersiap
untuk menghadapi salah satu badai terbesar dalam hidupku.
##
Penerbangan
selama berjam-jam dengan beberapa kali transit berjalan dengan lancar.
Aku telah sampai dengan selamat di bandara yang beberapa waktu lalu
menjadi saksi berakhirnya kisah cintaku.
‘Hahaha..kau harus siap,
Rukia. Cepat atau lambat hal ini harus kau hadapi’ pikirku seraya
menertawakan diriku sendiri. Ditemani beberapa koper berukuran jumbo
mataku berkeliling untuk mencari sopir yang akan membawaku kembali ke
rumah. Orang tuaku terlalu sibuk untuk meluangkan waktu guna menjemput
salah satu putrinya. Persiapan pernikahan kakakku sepertinya banyak
menguras tenaga, pikiran, dan waktu mereka.
Setelah beberapa saat
menanti, akhirnya kutemukan orang yang membawa papan nama bertuliskan
namaku. ‘tch, sopir yang aneh. Kenapa ayah bersedia memperkerjakan
lelaki berpenampilan urakan dan berambut terang menyala seperti itu
sih?’ gerutuku dalam hati.
“Ah, kau Rukia Ukitake?” Tanya orang
itu.
“Hn. Kau sopir baru ayahku ya?”
….
Hanya
senyuman-atau seringaian (?) yang kudapat. Namun aku tidak
mempermasalahkan hal itu. Saat ini aku hanya ingin segera sampai di
rumah dan mengistirahatkan diri di ranjang kesayanganku. Aku menunjuk
beberapa koper di sekelilingku dan masuk ke mobil. Kulihat orang itu
tengah memasukkan barang-barangku ke dalam bagasi dengan cekatan.
‘Sepertinya tenaganya besar juga’ pikirku.
Setelah semua barangku
masuk ke dalam bagasi, dia bergegas masuk ke kursi pengemudi dan
menyalakan mesin.
“Ukitake-san, sebenarnya apa yang kau bawa di
dalam koper-koper itu? Semuanya berat sekali, seperti kau mau pindah
rumah saja” kata pria itu mencoba memulai percakapan.
“it’s none
of your business, young man,” jawabku sekenanya.
Lagi-lagi dia
hanya diam. Aku pun memalingkan pandanganku keluar jendela. Untuk
sementara hanya ada keheningan disekeliling kami. keheningan yang
menenagkan. Hingga..
‘ckiiiittt..’
Rem mobil yang diinjak
secara tiba-tiba membuatku agak terhuyung ke depan. Kulihat didepan sana
ada seorang bocah yang tengah menyebrang jalan dengan seenaknya.
“Dasar,
anak kecil!” umpatku.
“Kau tak apa-apa Ukitake-san? Maaf,
harusnya aku lebih berhati-hati tadi” ujar lelaki itu sambil melihat
keadaan gadis yang ada disampingnya. Dari suaranya terbersit perasaan
bersalah karena kurangnya kehati-hatiannya.
“Tenang, aku baik-baik
saja. Guncangan kecil seperti itu tidak ada artinya untukku.”
‘tentu
saja itu tidak ada apa-apanya, karena aku telah merasakan guncangan
yang jauuuh lebih besar sebelumnya’ lanjutku dalam hati. “ah iya, kurasa
dari tadi kau belum menyebutkan namamu. Siapa namamu?” tanyaku berusaha
mencairkan suasana.
“Ichigo Kurosaki. Panggil saja aku Ichigo.”
Jawabnya
“Haha..-ups, maaf. Namamu unik. Kau yakin namamu straw-,
ehm, Ichigo maksudku?” ujarku sambil menahan tawa.
“Hft..kau orang
ke 87 yang tertawa ketika mendengar namaku, nona. Asal kau tahu, namaku
itu artinya pelindung, bukan strawberry atau apalah itu yang kau
pikirkan,” terang Ichigo sedikit kesal.
“Iya..iya..maaf, haha..
Baiklah Ichigo, kalau begitu kau juga harus memanggilku Rukia, jangan
Ukitake lagi, oke?”
“As you wish, madam,”
……
……
Author
POV
Pembicaraan ringan pun mulai mengalir diantara kedua insan
itu hingga tak terasa mereka telah sampai di halaman luas kediaman
Juushiro Ukitake, ayah Rukia. Rukia pun turun dari mobil. Nampak di
teras rumah sang ibu, Retsu Unohana, menanti kedatangan Rukia dengan
wajah yang sarat akan kerinduan. Memang selama ini Rukia belum pernah
pulang, jadi bisa dibilang inilah kepulangannya yang perdana.
“Kaa-san..”
seru Rukia sambil menghambur ke pelukan Retsu.
“Rukia…Kaa-san
rindu sekali padamu. Kau sehat kan? Disana kau tidak membuat masalah
macam-macam kan? Kau makan dengan cukup kan? Kenapa kau kelihatan kurus
sekali?” berondong Retsu pada Rukia.
“Kaa-san..kenapa
pertanyaannya banyak sekali sih?? Aku kan jadi bingung menjawabnya,
“gerutu Rukia sambil tersenyum kecil.
“Kaa-san kan khawatir
padamu. Habisnya kau itu tiap kali mengirim email yang kau ceritakan
bukannya kedaanmu tapi malah kelincimu. Memangnya yang anak kaa-san itu
kau atau kelincimu itu, hah?” balas Retsu sambil mencubit kecil pipi
putrinya.
“Hahaha..maaf..maaf.. ah, aku lelah sekali, bagaimana
kalau kaa-san membiarkanku masuk dulu dan nanti aku akan menceritakan
seeemuanya pada kaa-san? Oh ya, mana ayah?”
“Ah iya, kaa-san
sampai lupa. Ayo kita masuk dulu, nanti kaa-san buatkan coklat hangat
kesukaanmu. Seperti biasa, ayahmu masih di kantor. Kau itu seperti tidak
tahu watak ayahmu saja, selama dia masih bisa bergerak tentu dia akan
berada diantara tumpukan kertas-kertasnya. Coba saja nanti kalau dia
sudah mulai tidak enak badan, pasti langsung beralih ke kaa-san. Kalau
dipikir-pikir kaa-san ini fungsinya seperti dokter pribadi ayahmu saja.
Haha..” jelas Retsu sambil menyeret Rukia masuk ke rumah.
Sebelum
membuka pintu, “Astaga, kaa-san hampir lupa! Ano, Ichigo-kun, ayo sini
masuk dulu. Maaf tadi sudah merepotkanmu untuk menjemput putri bibi di
bandara.” Retsu berpaling sambil tersenyum pada Ichigo yang masih
berdiri di dekat mobilnya.
“Tidak apa-apa, Bi. Lagipula aku kan
kemarin sudah berjanji pada paman untuk menjemput Rukia-san, tapi maaf
Bi, sepertinya kali ini aku tidak bisa mampir. Rekanku sudah menelpon
supaya aku segera kembali ke kantor.” Jawab Ichigo.
“Aah..begitu
ya.. sekali lagi hontou ni arigatou Ichigo-kun.”
“Sama-sama, bi.
Kalau begitu aku pamit dulu, Bi. Sampai ketemu lagi Rukia..” pamit
Ichigo seraya masuk ke dalam mobil.
“Hati-hati mengemudinya,
Ichigo-kun” pesan Retsu.
Sementara itu Rukia yang sedikit
kebingungan dengan keakraban Ichigo dan ibunya hanya mampu menyimpan
semua pertanyaannya dan beranjak masuk ke dalam rumah. Ibunya pun
menepati janjinya dengan membuatkan secangkir coklat untuknya. Rukia
yang semula berniat untuk segera beristirahat pun dengan senang hati
merelakan waktunya guna memuaskan hasrat rindu sang ibu yang sudah
sekian lama tidak berjumpa dengan putrid kesayangannya.
Berbagai
kisah telah terlontar dari mulut ibu-anak itu. Senyum bahagia tak
henti-hentinya menghiasi wajah mereka. Rukia sendiri merasa sudah
menemukan kembali sisi lain dirinya yang sempat menghilang selama dua
bulan ini. Yah, mungkin benar kata orang, mencoba sedikit terbuka pada
orang lain akan membuat hati kita terasa lebih ringan. Walaupun dia
tidak menceritakan masalah ‘hatinya’ pada ibunya, karena yang tahu
masalahnya memang hanya dia, kakaknya, dan mantan kekasihnya, namun itu
sudah lebih dari cukup bagi Rukia untuk membuat hatinya terasa lebih
cerah.
##
Sore harinya..
“Kaa-san.. tadaima..” seru
seorang wanita yang nampak begitu mirip dengan Rukia.
“Okaeri,
Hisana.. bagaimana perkembangan persiapan pernikahanmu hari ini?” sambut
Retsu pada anak pertamanya, Hisana.
“Semuanya lancar, apalagi
dengan bantuan ayah dan keluarga Byakuya, persiapan kami sudah mencapai
98%” jelas Hisana dengan ceria. Tampak wajahnya yang berseri-seri ketika
menjelaskan detil persiapan pernikahannya dengan sang pujaan hati.
“Yokatta..
oh ya, apa kau sudah tahu kalau adikmu hari ini pulang?”
“benarkah?
Mana dia?” Tanya Hisana. Sejenak nampak kilatan rasa bersalah dan
kesedihan di iris matanya.
“Dia sedang istirahat di kamar. Setelah
kau mandi temuilah dia. Pasti dia sangat senang bertemu denganmu.
Katanya dia juga sudah menyiapkan sesuatu untuk pernikahan kalian.” kata
Retsu.
Deg.
‘sesuatu untuk pernikahanku? Jangan-jangan..’
Dalam
hati Hisana menebak-nebak apa yang telah dipersiapkan oleh adik semata
wayangnya itu. Jujur, dia merasa sangat bersalah terhadap Rukia. Selama
ini dia selalu berdebar-debar menunggu kepulangan adiknya. Dia takut
kalau adiknya akan sangat kecewa dan marah padanya, yah, walaupun dia
sebenarnya berhak mendapatkan semua itu. Karena bagaimanapun juga dia
lah salah satu penyebab sakitnya hati Rukia selama ini. Namun, dia pun
tak bisa membohongi perasaannya. Perasaan cinta terpendamnya untuk
mantan kekasih sang adik. Dan ketika dia melihat ada secercah harapan
untuk merealisasikan harapan dan perasaannya tentu hal itu tak
disia-siakannya.
‘ya, aku harus menghadapinya. Bagaimanapun juga
aku harus bicara dengan Rukia dan minta maaf padanya secara langsung,’
tekad Hisana dalam hati.
“Hisana, kaa-san dan tou-san malam ini
harus mengunjungi rumah paman Aizen, mungkin kami akan bermalam disana
karena ada sedikit masalah yang harus dibicarakan. Tolong jaga adikmu
ya. Makan malam sudah kaa-san siapkan, nanti suruh saja salah satu maid
untuk menghangatkannya.”
Kata-kata ibunya membuyarkan lamunan
Hisana.
“I-iya, kaa-san. Tenang saja. Hati-hati di jalan ya..”
Setelah
kepergian ibunya, Hisana pun bergegas membersihkan diri dan beranjak
menuju kamar adiknya. Dengan hati-hati diketuknya pintu kamar Rukia,
‘tok-tok’
“Rukia,
apa kau sudah bangun?” Tanya Hisana hati-hati.
Rukia yang
sebenarnya sudah bangun belum mau bersuara. Dia bimbang. ‘apakah ini
saatnya?’
Setelah beberapa saat mendiamkan suara ketukan di
pintunya, rukia pun bersuara,
“Hn, masuklah, nee-chan”
Hisana
pun membuka pintu dan perlahan masuk ke kamar Rukia. Dia bisa melihat
posisi Rukia yang tengah menghadap jendela, membelakanginya. Melihat
sosok yang begitu disayanginya sekaligus yang telah disakitinya nampak
begitu ringkih, mata Hisana berkaca-kaca. Disentuhnya pelan bahu Rukia,
“Rukia..”
Rukia
pun membalik badannya. Sekarang dia sepenuhnya berhadapan dengan
Hisana,
“Nee-chan”
Untuk sementara, hanya kesunyian yang
menyelimuti sekeliling mereka. Namun ini bukanlah jenis kesunyian yang
menenangkan. Suasana ini benar-benar tidak nyaman. Hingga akhirnya..
“Maafkan
nee-chan, Rukia.. nee-chan sudah berbuat jahat padamu. Kau boleh marah
pada nee-chan, pukul saja nee-chan kalau kau mau, Rukia, nee-chan pantas
mendapatkannya..nee-chan..nee-chan…..” tangis Hisana pecah sebelum dia
sanggup menyelesaikan kalimatnya.
“Sudahlah, nee-chan.. toh
semuanya sudah terjadi. Mau tidak mau akupun harus menghadapi kenyataan
ini,” kata Rukia dingin
“Maaf..maaf sekali, rukia, semua ini
terjadi di luar control nee-chan, ma-maksudku nee-chan tahu nee-chan
seharusnya tidak boleh memiliki rasa itu, tapi, ah..semuanya terjadi
begitu saja.. nee-..”
“Cukup, nee-chan! Cukup! Aku tak mau
mendengar ini semua lagi. Yang sudah terjadi biarkanlah,” Rukia mulai
kehilangan kontrol akan dirinya yang biasanya bisa bersikap dingin. Air
mata mulai menggenangi amethyst-nya yang indah. Dadanya sesak. Tangannya
pun gemetar hebat menahan semua gejolak perasaannya. Andai saja yang
ada dihadapannya ini bukan kakaknya yang begitu disayanginya mungkin
rasanya tidak akan sesakit ini.
“Ta-tapi..kau mau memaafkan
nee-chan kan? Kau tidak benci nee-chan kan?”
Cukup lama Rukia
diam, dia memandang kedua bola mata kakaknya, mencoba mencari kebenaran
dan ketulusan akan permintaan maaf kakaknya.
“Aku tidak benci
nee-chan, karena aku memang tidak akan bisa membencimu, nee..
tapi..untuk memaafkanmu..tolong beri aku waktu. Aku..aku masih terlalu
shock dengan semua kenyataan ini..” jawab Rukia akhirnya.
“Terimakasih,
adikku..terimakasih sekali..dan maaf karena nee-chan tidak bisa menjadi
kakak yang bisa membahagiakanmu..” kata Hisana sambil memeluk tubuh
mungil adiknya. Dalam hati Hisana merasa sedikit lega dengan respon yang
diberikan Rukia.
Beberapa saat setelah mereka berpelukan, Rukia
tiba-tiba teringat dengan isi salah satu kopernya.
“Nee-chan,
tunggu sebentar, aku punya sesuatu untuk hadiah pernikahan kalian.”
Hisana
hanya diam melihat adiknya yang berjalan dengan gesitnya kearah
koper-koper raksasanya berada. Setelah menanti beberapa saat..
“Ini
untukmu, Nee-chan..selamat atas pernikahan kalian..”kata Rukia sambil
menyodorkan kotak yang cukup besar kepada Hisana.
“Apa ini,
Rukia?” Tanya Hisana
“Bukalah, itu sesuatu yang dulu pernah
kujanjikan padamu,” jawab Rukia sambil tersenyum.
Hisana pun
membuka kotak pemberian dari Rukia.
“Ini..” Hisana terpukau dengan
isi kotak pemberian Rukia. Matanya terbelalak melihat sebuah benda yang
begitu indah tersaji di hadapannya.
“Ini benar untukku, Rukia?”
Tanya Hisana tak percaya.
“Iya, kau ingat kan dulu aku pernah
berjanji padamu untuk membuatkan gaun pernikahan untukmu? Sekarang, aku
sudah menepatinya, nee..”
“Astaga..Ini gaun terindah yang pernah
kulihat sepanjang hidupku, Rukia! Kau..oh, Tuhan, ini luar biasa!! Kau
memang calon desainer hebat, adikku!” Hisana berseru dengan gembira.
“Cobalah,
jadi aku bisa segera memperbaikinya kalau ada yang kurang pas,”
“Hn.”
Hisana
pun segera mencoba gaun buatan Rukia. Gaun berwarna ivory itu tampak
begitu pas di badan Hisana. Hisana berputar berkali-kali di depan cermin
untuk mengagumi betapa indahnya gaun tersebut.
“Kau sangat
cantik, nee-chan,” puji Rukia tulus. Dalam hati Rukia ingat akan
erjuangannya dalam membuat gaun itu. Setelah menerima undangan
pernikahan Hisana, Rukia pun teringat akan janji untuk membuatkan sebuah
gaun pernikahan jika kakaknya menikah kelak. Di tengah rasa patah
hatinya, malam demi malam dilalui Rukia dengan menjahit gaun itu
diiringi dengan uraian airmata. Semua kesedihan dan kekecewaannya
ditumpahkan dalam tiap jahitan gaun sempurna itu. Saat itu dia berharap,
semoga dengan ini rasa sakit hati yang tengah mendera dirinya bisa ikut
terjahit dan dia bisa berdiri dengan tegar di hari bahagia kakaknya
kelak.
Dan melihat raut wajah puas serta bahagia kakaknya saat
ini, Rukia merasa puas dan ikut senang akan kebahagian yang tengah
dirasakan kakaknya. Sedikit banyak luka hati Rukia sepertinya mulai
menutup.
##
Never mind,
I'll find someone like you
I wish nothing
but the best for you too
Don't forget me, I
beg
I remember you said,
"Sometimes it lasts in love but sometimes it hurts
instead,
Sometimes it lasts in love but
sometimes it hurts instead, "
Akhirnya, hari yang dinanti pun
tiba. Hari sakral dimana Hisana akan mengucapkan sumpah setia sehidup
semati pada pasangannya. Dari pagi semua sibuk bersiap. Mempelai wanita
nampak begitu cantik dan ceria dalam balutan gaun buatan adiknya.
Sementara itu, Rukia pun nampak begitu mempesona dalam balutan gaun
warna ungu lavender selutut tanpa tali yang dipadu dengan high heels
berwarna senada yang menonjolkan kaki jenjangnya yang indah. Iris
amethist-nya nampak begitu bercahaya meskipun hatinya belum bisa sembuh
seratus persen. ‘setidaknya aku harus bisa nampak bahagia di depan
Hisana dan ‘dia’,’ kata Rukia dalam hati. Jujur saja, sampai detik ini
Rukia belum bertemu dengan mantan kekasihnya yang sebentar lagi akan
menjadi kakak iparnya itu. Dia sendiri belum tahu reaksi apa yang akan
muncul saat dia bertemu dengannya.
“Kalian sudah siap? Waktu kita
terbatas, sebentar lagi kita harus berangkat,” kata Ukitake
mengingatkan.
Untuk terakhir kalinya, Rukia memandang pantulan
dirinya di cermin guna memastikan ekspresi wajahnya sudah terlihat
gembira dan natural. Setelah itu dia mengalihkan perhatiannya pada
Hisana yang sedang berjalan menuju pintu.
“Ayo, nee-chan, pegang
tanganku,” tawar Rukia ketika melihat Hisana agak kesulitan ketika turun
dari tangga.
Perjalanan dari kediaman Ukitake menuju tempat
diberlangsungkannya acara hanya memakan waktu 10 menit. Acara pernikahan
yang bertemakan garden party itu terlihat ramai dengan kedatangan tamu
yang kebanyakan adalah relasi bisnis dari kedua belah pihak. Mempelai
pria pun sudah berada di altar dan tengah menanti kedatangan mempelai
wanita.
Rukia yang tengah berdiri dan mengedarkan pandangannya ke
sekeliling tempat itu tiba-tiba terpaku ketika matanya terperangkap
dalam sorot mata abu-abu dari sosok yang ada di depan sana. Sosok yang
amat sangat dirindukannya. Sosok yang sekarang posisinya begitu dekat
dengannya namun tak bisa diraihnya. Sosok yang sebentar lagi akan resmi
menjadi kakak iparnya. Byakuya Kuchiki. Begitu inginnya Rukia berlari
menghampiri dan memeluk pria itu. Pria yang nampak begitu sempurna dalam
balutan tuxedo warna hitam. Pria yang..ah, Rukia tak sanggup lagi
melanjutkannya.
Untuk sesaat, Rukia merasa dunianya akan runtuh
sekali lagi. Kakinya serasa tak kuat lagi menopang berat tubuhnya.
Hingga tiba-tiba dirasakannya tangan besar yang menggenggamnya dengan
kuat. Meremas pelan tangan mungilnya seolah menyalurkan kekuatan
untuknya. Dia menoleh, mendongakkan kepala lebih tepatnya, pada orang
yang telah memberi kekuatan untuknya. Pria itu memberikan senyuman
lembut untuk Rukia. Tatapannya begitu menenangkan dan menghipnotis.
Kemudian, dia membisikkan sesuatu di telinga Rukia,
‘I’ll stand by
you’
Acara demi acara pun terlalui dengan sukses. Hingga semua
prosesi upacara pernikahan selesai pria itu tak sekalipun melepaskan
genggamannya pada tangan mungil Rukia.
Dan..saat lempar buket
bunga pun tiba..
‘pluk’
Buket bunga itu jatuh di pangkuan
Rukia. Rukia tak pernah menyangka bahwa dia akan mendapatkan buket
tersebut mengingat dia memang tak berupaya untuk mendapatkannya.
‘maybe
it’s time for me to chase down my happiness’ pikir Rukia dalam hati.
##
“Hey, apa yang kau lakukan disini?”
Suara
seorang pria yang diiringi dengan kecupan kecil di puncak kepala wanita
itu membuatnya tersadar dari lamunan panjangnya. Delapan tahun telah
berlalu semenjak peristiwa itu dan kini dia telah menemukan tambatan
hatinya. Seseorang yang sangat mecintainya dan mau menerima dia apa
adanya.
“Tidak, aku hanya ingin menikmati angin malam saja,” jawab
wanita itu sambil menatap sepasang amber menenangkan milik pria yang
dicintainya itu.
“Angin malam tidak terlalu bagus untuk
kesehatanmu dan calon anak kita, Nyonya Kurosaki. Ayo kita masuk,” kata
pria itu seraya menyelami telaga ametyst tak berdasar istrinya.
“Hn,
ayo,” jawab sang wanita sambil tersenyum bahagia ke arah suaminya.
終わり
Momo’s corner:
Aaaaakkkkkkk.....feelnya
ga dapet, huhuhu.. *pundung* gomen ne.. ni fic perdana (baca: yang ada
endingnya) momo,
Gimana? Gimana?
Hahaha..
*tertawa
miris*
Anyway, review onegaishimasu :)